Rumah Rakyat yang Terkunci: Jeritan Jurnalis di Depan Gedung DPRD Lampung Tengah yang Sunyi

Lampung Tengah — Langit pagi itu tampak cerah, namun suasana di halaman Kantor DPRD Lampung Tengah justru kelam. Ratusan jurnalis yang tergabung dalam Forum Wartawan Lintas Media (FWLM) berdiri tegak di bawah terik matahari, membawa spanduk dan suara yang bergetar oleh kekecewaan. Mereka datang bukan untuk mencari sensasi, melainkan menuntut keadilan atas kebijakan yang dianggap mengebiri eksistensi pers di daerah mereka.

Namun, yang mereka temui hanyalah pintu-pintu tertutup dan kursi-kursi kosong. Tak satu pun dari 50 anggota DPRD Lampung Tengah terlihat di tempat. Gedung megah yang disebut “rumah rakyat” itu mendadak terasa seperti bangunan tak berpenghuni — sunyi, dingin, dan kehilangan makna.

Aksi damai yang digelar pada Senin, 29 Desember 2025, sejak pukul 09.30 hingga 13.00 WIB itu dimulai dari Kantor PWI, berlanjut ke Kantor Pemkab, dan berakhir di DPRD. Di setiap langkah, suara mereka menggema: menolak penghapusan anggaran publikasi media tahun 2026 yang telah disepakati dalam APBD Murni.

Kebijakan itu dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers. Padahal, media selama ini menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat, menyuarakan pembangunan, sekaligus mengawasi jalannya kekuasaan. “Lima puluh anggota DPRD ini digaji dari uang rakyat, tapi tak satu pun yang hadir. Kalau rumah rakyat menutup pintunya bagi rakyat, lalu ke mana lagi kami harus mengadu?” seru Koordinator FWLM, Riki Antoni, dengan suara lantang yang menggema di halaman gedung dewan.

Kata-kata itu menampar nurani siapa pun yang mendengarnya. Di tengah teriakan dan orasi, hanya beberapa pejabat sekretariat yang keluar menemui massa. Sekretaris DPRD yang diketahui berada di lokasi memilih diam di balik dinding, seolah tak mendengar jeritan para jurnalis yang menuntut keadilan.

Ironinya, penghapusan anggaran publikasi ini terjadi setelah pembahasan APBD Murni 2026 yang hanya berlangsung dua hari. Kejanggalan itu kini menyeret nama Bupati nonaktif Ardito Wijaya, yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap dan setoran proyek.

Bagi para jurnalis, keputusan itu bukan sekadar soal uang. Ini tentang keberlangsungan hidup media lokal, tentang idealisme, dan tentang hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jujur. “Kami bukan pengemis anggaran. Kami bekerja, menulis, dan mengabdi untuk kebenaran. Tapi jika anggaran publikasi dihapus tanpa dialog, itu sama saja membunuh media secara perlahan,” ujar Riki dengan nada getir.

Di bawah terik matahari yang mulai condong ke barat, para jurnalis tetap berdiri tegak. Spanduk mereka berkibar, suara mereka menggema, dan semangat mereka tak padam. Hari itu, di depan gedung DPRD Lampung Tengah yang sunyi, demokrasi seolah sedang diuji. Ketika wakil rakyat memilih diam, pers justru bersuara lantang — membuktikan bahwa pena masih lebih tajam dari kekuasaan yang bungkam. (TIM)

Bright living room with modern inventory
Bright living room with modern inventory